Imam
Sya'roni adalah nama tenar dari Abdul Wahab al-Sya’roni. Pengarang
kitab al-Mizan al-Kubro ini berasal dari salah satu keluarga besar Bani
Alawiyyah (keturunan Nabi SAW). Tetapi, di saat terjadi ketegangan
antara keturunan Bani Alawiyah dengan Bani Umawiyah, keluarga besar Bani
Alawiyah yang merupakan keluarga besar Imam al-Sya’roni, berpindah ke
Maghrib (Maroko); yang pada akhirnya Bani Alawiyah mampu mendirikan
sebuah kerajaan di sana. Dengan demikian, Imam al-Sya’roni mempunyai
silsilah keturunan dari Muhammad bin al-Hanafiah bin Ali bin Abi
Thalib.Menurut riwayat yang shahih, tokoh kita ini dilahirkan pada
tanggal 27 Ramadhan tahun 898 H, di sebuah pedesaan yang bernama
Qalqasyandah (daerah selatan Mesir). Desa tersebut merupakan pedesaan
kakeknya dari jalur ibu. Tapi, setelah empat puluh hari dari hari
kelahiranya, al-Sya’roni dibawa oleh sang ibu untuk pindah dari desa
kelahiranya, menuju desa asal ayahandanya yaitu desa Abu Sya'roh di
propinsi Manufiyyah, yang lambat laun dari desa tersebut Imam Sya’roni
mendapatkan sebuah gelar; yaitu al-Sya’roni.
I
mam Sya'roni dan dunia ibadah
Pada
usia yang masih sangat belia, al-Sya’roni telah ditinggal mati oleh
ayahnya. Setelah itu Sya'roni kecil dirawat oleh seorang paman yang
shalih dan ahli ibadah. Sang paman yang shalih selalu membimbing
kemenakannya untuk selalu hidup dalam keshalihan dan ketaatan kepada
Tuhan. Dari hasil didikan seorang paman yang taat ini, bukan sesuatu
yang mengherankan jika Imam Sya’roni semenjak kecilnya, merupakan
seorang anak yang terkenal akan ibadah dan pengabdianya kepada Allah.
Semenjak usia delapan tahun, dia telah terbiasa melakukan shalat malam,
dengan menenggelamkan diri dalam dzikir-dzikir yang mengagumkan.
Keyatiman yang ia alami, tidak menjadikan dirinya berkembang sebagai
anak yang hidup dalam keputusasaan dengan tanpa harapan. Semenjak kecil,
ia telah menyakini dalam hatinya yang paling dalam, bahwa Allah telah
menjaganya dari sifat keberagamaan yang lemah, sebagaimana Allah selalu
menjaga dirinya dari perbuatan yang tercela dan hina. Bahkan dalam
hatinya, dia juga percaya bahwa Allah telah memberikan kepada dirinya
kecerdasan yang bisa dijadikan pisau dalam memahami semua keilmuan
dengan benar, yang sekaligus mampu memahami semua kerumitan- kerumitan
yang ada.
Imam Sya'roni dan dunia kelimuan
Dalam
sejarah hidupnya, kecintaan Imam Sya’roni terhadap ilmu-ilmu agama,
telah menjadikan dirinya melakukan perjalananan dari desa asalnya menuju
Kairo. Ketika berada di Kairo, dia yang semenjak kecil dididik dengan
keshalihan dan ketaatan, selalu menghabiskan waktu-waktu yang ia miliki
dengan beribadah dan menelaah semua keilmuan. Dia telah menjadi semakin
alim dan bertakwa. Waktu-waktunya hanya ia habiskan untuk beribadah dan
belajar, di dalam sebuah masjid. Semenjak berada di Kairo, dia telah
berhasil bertemu dengan para ulama-ulama besar; seperti Jalaluddin
al-Syuyuthi, Zakaria al-Anshori, Nashirudin al-Laqoni dan al-Romli, yang
guru-gurunya ini selalu ia kenang dalam beberapa tulisan kitabnya. Di
Kairo, Imam agung ini mempelajari semua keilmuan yang ada pada zamanya.
Dia selalu mempelajari semua keilmuan dengan semangat belajar yang luar
biasa. Dia merupakan simbol dari seorang murid yang teladan dan rajin
pada zamanya. Dia selalu mencari sebuah kebenaran di manapun ia berada.
Dalam pandangannya, semua imam adalah figur yang telah mendapatkan
sebuah petunjuk dari Allah. Dia tidak melakukan sikap fanatisme yang
berlebihan terhadap salah satu mazhab, dan tidak tergesa-gesa dalam
menilai sebuah ijtihad dari salah satu mazhab tertentu, kecuali setelah
melakukan pengkajian yang matang dan mendetail. Dan, setelah ia
menguasai beberapa disiplin ilmu yang ada pada zamanya, dia tidak
berubah menjadi seorang yang sombong dan angkuh, tapi tetap menjadi
seorang yang tawadhu’ dan rendah hati. As-Sya'roni sebagaimana ahli sufi
lainnya, selalu menghindari perdebatan yang tidak ada gunanya di saat
menuntut ilmu. Dia memahami betul bahwa berdebat hanya akan menjauhkan
dirnya dari cahaya Tuhan.
As-Syaroni dan Ali al-Khowwas
Pertemuan
antara al-Sya’roni dan al Khowwas, merupakan salah satu bukti betapa
pentingnya seorang Syaikh dalam dunia para sufi. Al-Khowwas adalah
seorang laki-laki yang telah diberikan Allah sebuah mauhibah dan
keistimewaan, dalam menjalani badai kehidupan. Dia merupakan salah satu
anugrah, yang pernah diberikan Allah kepada umat manusia dalam menuju
sebuah hakikat. Al-Khowwas merupakan simbol kebenaran atas keberadaan
ilmu Laduni dalam dunia sufi. Semenjak kecil Dia adalah seorang yang
ummi(buta huruf), yang dalam setiap perkataannya selalu diwarnai dengan
ayat-ayat Alquran dan Hadits. Dia mampu mengambil sebuah istimbat dari
dalil-dalil tersebut, dengan sangat menakjubkan dan mengherankan.
Pertemuannya dengan al-Sya’roni, merupakan sebuah bukti dari
keistimewaan seorang wali dengan ilmu laduninya, dengan seorang alim
yang belum mencapai derajat tersebut. Al-Khowwas adalah seorang ummi,
sedang al-Sya’roni adalah seorang yang alim. Tapi, itu semua hanya dalam
penampakan lahir belaka. Pada hakikatnya al-Khowwas adalah seorang alim
sedang al-Sya’roni adalah seorang ummi. Ilmu al-Khowwas adalah ilmu
mauhibah yang langsung diterima dari Allah, sedang ilmu al-Sya’roni
adalah ilmu yang bersumber dari kitab-kitab bacaan yang hakikat ilmu
tersebut menurut orang sufi bukan merupakan ilmu yang dimiliki secara
hakiki, melainkan ilmu yang didapat melalui bacaan terhadap kitab.
Al-Khowwas adalah seorang yang telah mengantarkan al-Sya’roni menuju
dunia sufi yang sesunggungya. Dia telah mengantarkan al-Sya’roni
mencapai derajat kewalian, dan mengajarkan tata cara mencapai sebuah
ilmu laduni. Dalam beberapa kesempatan Al-Sya’roni mengisahkan bagaimana
al-Khowwas telah memberikan pengajaran kepada dirinya dalam mencapai
derajat tersebut. Yang pertama ia lakukan adalah menjual semua kitab
yang ia miliki, dan menghabiskan semua hasil penjualan kepada fakir
miskin. Pada awalnya, al-Sya’roni merasa berat menjalankan perintah sang
guru, bahkan setelah melakukan semua perintah tersebut, al-Sya’roni
merasa tidak enak hati dan terus memikirkan kitab-kitab yang telah ia
jual. Ia merasa telah kehilangan semua ilmu yang selama ini ia tekuni.
Tetapi, ketika al-Khowwas mengetahui hal tersebut, beliau memerintahkan
kepada al-Sya’roni untuk memperbanyak dzikir kepada Allah. Setelah mampu
menanggulangi cobaan pertama ini, al-Khowwas menyuruhnya menghindari
keramaian manusia (uzlah), hingga pada akhirnya al-Sya’roni merasa
dirinya paling baik dibandingkan dengan yang lainya. Al-Khowwas kemudian
menganjurkan kepada al-Sya’roni untuk terus melakukan mujahadah hingga
ia akan merasakan bahwa dirinya lebih hina dari pada orang yang paling
hina sekalipun.Setelah masa-masa tersebut, al-Khowas menyuruh
al-Sya’roni untuk berbaur kembali dengan masyarakat ramai, dengan
bersabar atas apa yang mereka lakukan terhadap dirinya. Al-Sya’roni
ketika menjalankan hal tersebut merasakan bahwa dirinya merupakan orang
yang paling tinggai derajatnya jika dibandingkan dengan orang lainya.
Tetapi, seperti biasanya, al-Khowwas kemudian memerintahkan kepada
dirinya untuk menghilangkan perasaan-perasaan tersebut. Al-Khowwas
menyuruh al-Sya’roni untuk memperbanyak dzikir kepada Allah dalam semua
waktu-waktunya. Ia tidak boleh memikirkan hal lain selain sang pencipta.
Sehingga ia harus menjalani masa-masa itu selama berbulan-bulan. Dan
bukan hanya itu saja, al-Khowwas kemudian menyuruh dirinya untuk
menghindar dari nafsu makan. Makan hanya dilakukan untuk menjaga
kelangsungan hidup belaka, sehingga al-Sya’roni ketika itu merasakan
dirinya telah terbang ke atas.Mujahadah yang telah diajarkan al-Khowwas
kepada al-Sya’roni telah menjadikan dirinya memiliki keilmuan yang tidak
ia duga sebelumnya. Ia merasakan, bahwa ilmu yang telah ia miliki,
mendapatkan pesaing dari ilmu mauhibah yang baru ia dapat. Ilmu yang
baru ia dapat telah memberi penyempurnaan terhadap ilmu yang selama ini
ia miliki. Hati al-Sya’roni telah dibuka oleh Allah, dan diberikan
pengetahuan-pengetahuan yang hanya dimiliki oleh seorang sufi saja.
Tetapi, walaupun al-Sya’roni telah mendapatkan ilmu laduni dari Allah,
al-Khowwas yang dalam hal ini berperan sebagai guru al-Sya’roni,
membimbing kepada dirinya untuk terus melakukan berbagai macam mujahadah
dalam rangka membersihkan hatinya dari belenggu duniawi. Sehingga pada
akhirnya al-Sya’roni mampu mendapatkan berbagai macam ilham dan karomah
yang telah diberikan langsung oleh Allah kepada dirinya.
Karomah Imam Sya'roni
Suatu
ketika antara Syaekh Abd al-Wahhab dengan Syekh Nasiruddin al-Laqqani,
terjadi kesalahkepahaman karena ada aduan dari sebagian orang yang hasud
pada Syaekh Abd al-Wahhab. Dia mengadu pada Syekh Nasir bahwa Syekh
Sya'roni dalam majlis pengajiannya mencampur santri laki-laki dengan
santri perempuan. Ketika Syekh Sya'roni mengetahui bahwa Syekh Nasir
terkena tipuan orang ini, maka beliau sowan ke Syekh Nasir untuk
meminjam kitab "Al-Mudawwanah". Syaekh Nasir dalam kesempatan itu
mengatakan : " Aku harap engkau tidak melakukan pelanggaran lagi, dan
engkau kembali pada Syariat yang benar ! ". Syaekh Sya'roni menjawab : "
InsyaAllah itu akan terjadi ". Setelah itu, Syaekh Nasir menyuruh
pembantunya untuk mengeluarkan kitab "Al-Mudawwanah" dari lemari, dan
menyuruhnya mengantarkannya ke rumah Syekh Sya'roni. Beberapa saat
setelah sampai di rumah Syekh Sya'roni, pembantu itu mohon diri untuk
pulang. Namun Syekh Sya'roni menahan dan meminta agar ia mau menginap
barang satu malam.Keduanya mengisi malam itu dengan bercengkerama sampai
larut malam. Ketika malam telah melampaui sepertiganya, Syekh Sya'roni
masuk ke kamar kholwatnya. Kira-kira seperempat jam, beliau keluar untuk
membangunkan pembantu itu agar sholat tahajjud. Lalu dia bangun,
berwudlu dan sholat bersama Syekh Sya'roni sampai menjelang subuh.
Selesai solat Subuh mereka berdua membaca Qur'an bersama, lalu
mengamalkan wirid masing masing sampai matahari terbit. Menginjak
matahari setinggi tombak Syekh Sya'roni mengajaknya untuk ke kamar dan
makan pagi bersama. "Tolong kembalikan kitab al-Mudawwanah ini pada
Syekh Nasir dan sampaikan rasa terima kasih saya" ucap Syekh Sya'roni
setelah acara makan pagi selesai. Khodim Syekh Nasir ini heran dan
bertanya-tanya dalam hatinya : " Apa maksud Syakh Sya'roni ini, meminjam
kitab hanya satu malam saja? Apa yang telah dilakukannya dengan kitab
ini? ". Ketika dia sampai pada gurunya dan mengembalikan kitab tersebut
Syekh Nasir tambah marah pada Syekh Sya'roni. Di tengah rasa marah ini
Syekh Nasir ditanya tentang suatu masalah yang mengharuskannya untuk
membaca kitab Al-Mudawwanah. Ketika membukanya ia kaget karena di situ
ada catatan-catatan tangan Syekh Sya'roni. Demikian lembar demi lembar
selalu ada catatan tangan Syekh Sya'roni. Karena heran dengan kenyataan
ini Syekh Nasir bertanya pada muridnya tadi : "Apa yang dilakukan Syekh
Sya'roni dengan kitab ini ?". Diapun menjawab: " Demi Allah… dia tidak
berpisah dariku kecuali hanya dua puluh menit, beliau tidak meninggalkan
wiridan dan tahajjudnya ". Demi mendengar keterang muridnya ini, Syekh
Nasir lalu pergi menghadap Syekh Sya'roni dengan tanpa memaakai alas
kaki dan tutup kepala. Ketika sampai di hadapan Syekh Sya'roni Syekh
Nasir berkata : " Sekarang aku bertaubat. Aku tidak akan berani lancang
pada golongan ahli Tasawwuf ". Syaekh Sya'roni lalu berkata : "Maukah
tuan aku tunjukkan kitab ringkasan kitab Al-Mudawwanah, yang aku lakukan
malam itu ? kalau memang ada yang menerimanya itu semata-mata anugerah
Allah, dan barokah Izin Nabi SAW. Kalau tidak ada yang menerimanya maka
aku akan menghapusnya dengan air ". Lalu Syaekh Nasir memberikan kata
pengantar, dan memuji kitab Syekh Sya'roni ini.Di antara karomah Imam
Sya'roni adalah suatu ketika ia tidur di rumah kawannya di sebuah ruang
terpencil yang banyak jinnya. Pada petang harinya kawannya ini
menyalakan lampu di ruangan itu, menutup pintu lalu meninggalkan Syekh
Sya'roni sendirian. Lalu datanglah sekelompok jin. Mereka mematikan
lampu dan mengitari Syekh kita ini hendak mengganggunya. Tahu akan apa
yang terjadi Syekh Sya'roni berkata : " Demi keagungan Allah…. Kalau
saja aku mau menangkap salah satu di antara mereka, niscaya tidak akan
ada satupun yang mampu melepaskannya". Lalu Imam Sya'roni tertidur
dengan tenang seperti tidak ada apa-apa.Di antara karomahnya adalah,
suatu ketika Imam Sya'roni berkata : "Aku diberi anugrah oleh Allah
berupa pengetahuan apakah seorang wali sedang berada dalam kuburnya atau
tidak. Karena memang para wali dalam kuburnya mempunyai aktifitas
tersendiri. Mereka selalu datang dan pergi. Keistimewaan ini juga di
miliki oleh Syekh Ali al-Khowwas guru Syaekh Sya'roni. Sang guru ini
kalau melihat seseorang mau ziaroh ke makam seorang wali kadang-kadang
mengatakan : " Cepatlah pergi kesana, karena sebentar lagi sang wali mau
pergi untuk keperluan ! ". Suatu ketika Syekh Sya'roni ziarah ke makam
Syekh Umar Ibn al-Faridl, tapi tidak menjumpainya dalam kuburannya.
Setelah itu, Syekh Umar datang kepadanya, sambil berkata : " Maafkan
saya, karena tadi aku ada keperluan ".
Wafat
Imam Sya'roni wafat pada tahun 973 H 1565 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar